Diskusi & Bedah Buku Mencintai Munir Dikota Ambon Jadi Perhatian Aktivis & Mahasiswa
Ambon,MalukuBersatu.Com,-Sampai kini Suciwati ibu dua anak yang ditinggalkan suaminya munir Thalib masih terus menyerukan apa yang harus diketahui masyarakat Indonesia terhadap berpulangnya suami tercinta. Dikarenakan sampai hari ini masih belum ada kepastian berpulangnya kekasih hati menghadapi TYME. Mendiang Munir Said Thalib seolah tak habis-habisnya untuk diulas dalam buku. Tak cuma tentang perjuangan, tapi juga komitmennya untuk mencari keadilan bagi orang-orang tertindas. Kali ini, giliran sang istri Suciwati yang ingin mengajak pembaca mengenal lebih dekat aktivis HAM kelahiran Surabaya itu dalam buku “Mencintai Munir.”
Suciwati tertantang membagi cerita di balik penggarapan buku terbitan Museum HAM Munir tersebut di Ambon, dalam diskusi yang digelar atas kerjasama Yayasan Tifa, Imparsial, Museum Munir dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Maluku, Rabu (12/7/2023). Kegiatan tersebut dilaksanakan di News Rock Cafe dan dihadiri oleh mahasiswa, pegiat HAM, masyarakat umum, dan jurnalis. Narasumber diskusi dan bedah buku ini antara lain: Suciwati (Penulis/Istri Munir Said Thalib); Hussein Ahmad (Peneliti Imparsial), Dino Umahuk (Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat JMSI) dan Rere Khairiyah (Ketua AJI Ambon). Moderator kegiatan ini adalah Mark Ufie yang merupakan pelaku seni dan pegiat komunitas di Kota Ambon.
Ibu dua anak yang berusia 54 tahun itu menyatakan, proses penggarapan “Mencintai Munir” berjalan sulit. Karena harus mengingat kembali masa-masa getir selepas sang Pembunuh. “Sebenarnya ini soal yang tidak mudah karena harus memanggil ingatan. Bukan cuma tentang kehangatan almarhum, tapi juga tentang rasa kehilangan. Bagaimana saya mendapat ruang ketidakadilan, dan prosesnya juga panjang,” ujar Suciwati kepada para peserta diskusi. Keputusan Suciwati untuk menulis tak lepas dari keinginan menghadirkan sebuah buku yang membawa pembaca lebih dekat dengan Munir.
Selain itu, ternyata belum ada buku yang menurutnya sreg lantaran masih banyak detail yang terlewat, dan hanya tahu aktivitas mendiang dari luar alih-alih sebagai “orang dalam”. “Saya memang sudah mengumpulkan semua tulisan, riset dan memo yang pernah kami jalani. Sudah terkumpul, dan bagi beberapa orang ternyata kurang pas atau tidak jdi hanya pada satu titik. Saya harus memulai karena saya tidak mau menyesal dan orang hanya mengenal Munir dari luarnya saja,” ujarnya. Lebih jauh lagi, Suciwati menyebut buku ini sebagai bentuk rasa cintanya kepada sang suami, sekaligus upayanya meluruskan segala simpang siur yang menyangkut Munir.
Sekaligus menunaikan niatan yang sudah lama ia pancang. Pada akhirnya dengan buku ini saya bisa merasa lega akhirnya bisa menghadirkan buku ini,” tutur perempuan asal Malang tersebut. Ketua Bidang Organisasi Pengurus Pusat JMSI Dino Umahuk yang hadir sebagai pembicara. Masih ingat betul masa-masa awalnya bekerja di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), kemudian di Radio Voice of Human Rights (VHR) dan bisa bercengkerama langsung dengan Munir .
“Dari beliaulah saya belajar tentang kejahatan luar biasa, atau yang dia sebut sebagai pelanggaran HAM. Saya pertama kali mendengar istilah itu dari Cak Munir. Dari ngobrol, bukan buku,” ujar Dino. “Dia punya komunikasi besar yang bagus banget. Orang lihat Munir itu harus ikut seminar atau lihat di televisi”. “Kita malah bisa membawanya langsung ke kantor untuk menjelaskan sesuatu”. “Dan dia memang senang berdiskusi dengan anak muda,” tambahnya. Dino bercerita bahwa ia diajari oleh Munir cara berempati dan bersolidaritas dengan golongan marjinal. Mulai dari “rumus-rumus” dalam advokasi buruh, serta logika-logika kala pendampingan.
Lanjut Umahuk, Munir adalah sosok yang rendah hati dalam membela hak-hak masyarakat, serta banyak dedikasi hidupnya untuk korban. Munir tidak pernah lupa dari mana dia berpijak, dan dia selalu mengingatkan. Hidupnya dipersembahkan untuk keadilan korban, nyawanya dipertaruhkan untuk kebenaran, dan rezekinya disedekahkan untuk korban-korban. Sementara itu Ketua AJI Ambon Rere Khairiyah menyebut bahwa buku “Mencintai Munir” bisa mengajak anak-anak muda melihat sang aktivis dari sudut pandang seorang pasangan dan ibu. “Serta bagaimana perjalanan isu HAM di Indonesia”.
“Membaca ini seperti naskah film atau novel yang sangat bagus, dalam struktur” katanya. “Saya pikir ini bisa menyegarkan ingatan kita dalam sudut pandang yang lebih menyentuh dan emosional, sekaligus menjadi sumber informasi yang bagus,” jelasnya. Poin yang menarik saat membaca buku Munir adalah kita berhadapan pada kondisi dunia aktivis, dunia advokasi, dunia dimana Munir berhadapan pada persoalan yang serius. Sehingga buku ini menjadi gambaran bahwa Munir adalah sosok yang menginspirasi, sambung Rere.
Sementara itu, Suciwati juga menjelaskan latar belakang dibuatnya judul buku Mencintai Munir karena kita pernah hidup di zaman otoriter dan banyak terjadi pelanggaran HAM. Melalui buku ini ada pesan yang harus diketahui masyarakat dan generasi yang sekarang mengenai susahnya hidup di ruang otoriterisme dan negara banyak melakukan ancaman. " Saat ini kita sedang hidup di era demokrasi, sehingga penting untuk disampaikan kepada anak muda supaya demokrasi (dan hak asasi manusia) ini tidak diinjak-injak", tutur Suciwati. Selain Suciwati, Al Araf yang merupakan salah satu narasumber sekaligus kawan baik Munir mengatakan bahwa Munir adalah sosok yang rendah hati .
Dalam membela hak-hak masyarakat, serta hidupnya yang banyak dipersembahkan kepada para korban siapapun dia. Munir tidak pernah lupa dari mana dia berpijak, dan dia selalu mengingatnya. Hidupnya dipersembahkan untuk keadilan korban, nyawanya dipertaruhkan untuk kebenaran, dan rezekinya disedekahkan untuk korban-korban, ucap Al Araf. Yusri Fajar selaku narasumber ketiga juga mengatakan bahwa buku Mencintai Munir adalah judul yang sangat mewakili tepat kiprah dan perjuangan Munir. Buku Mencintai Munir tidak hanya membaca isi kisahnya, tetapi juga pemikiran dan kiprahnya.
Bagi Mbak Suci tidak ada perpisahan dengan Cak Munir, oleh karena itu Mencintai Munir adalah judul yang sangat tepat, pungkas Yusri. Kemudian Yusri juga mengatakan bahwa Munir adalah sosok inspiratif yang perjuangannya tidak mudah karena berhadapan pada kondisi dunia aktivis dan advokasi yang serius. Poin yang menarik saat membaca buku ini adalah kita dihadapkan pada kondisi dunia aktivis, dunia advokasi, dunia dimana Munir berhadapan dengan persoalan yang serius. Sehingga buku ini menjadi gambaran bahwa Munir adalah sosok yang menginspirasi.
Selain diskusi dan bedah buku, kegiatan ini juga diselingi dengan pembacaan puisi, pembagian buku kepada beberapa peserta, dan mendengarkan cerita dari kawan-kawan Munir semasa menjadi mahasiswa dan aktivis HAM. (MB-01 )
Belum Ada Komentar